Latar Belakang
2.Keberhasilan seperti apa yang telah
diraih oleh kabupaten Purbalingga?
Penelitian
dengan focus kepemimpinan di era otonomi
daerah sangat penting dilakukan
mengingat minimnya referensi tentang keberhasilan seorang pemimpin di era
otonomi. Bahkan di era otonomi daerah, banyak sekali terkesan bahwa
kepemimpinan justru memprofokasi munculnya disharmonis komunikasi. Baik
komunikasi antar lembaga (masyarakat) maupun antara pemimpin dengan bawahannya.
Salah satu factor yang menyebabkan kepemimpinan di era otonomi ini menjadi
sangat spesifik, dalam arti sering terjadinya disharmonis yakni bermula dari
adanya transisi politis yang terjadi pada tahun 1998. Transisi politik tersebut
berdampak pada perubahan struktur dan kultur organisasi pemerintahan, termasuk
didalamnya mengenai kepemimpinan.
Karakteristik pada struktur organisasi pemerintahan
pada paradigma lama adalah organisasi
birokratik. Hal ini ditandai dengan cirinya yang mendasar, yakni top-down
authority, hierarchiecal organization (controle from the top of the
organization), dan close system (thus citizen invoelvement is limited).
Hal tersebut mengandung pengertian bahwa sturktur organisasi pemerintahan
memiliki otoritas atas-bawah, organisasi hirarkis dengan kontrol sangat ketat
dari atas (pimpinan), dan sistem yang tertutup dengan keterlibatan masyarakat
dalam pengambilan keputusan sangat terbatas. Fenomena tersebut mendorong
kepemimpinan cenderung bersifat otoriter. Yang berarti seorang pemimpin akan
baik hanya jika terlahir sebagai
pemimpin dengan sifat yang baik.
Sementara itu, dalam paradigma saat ini,
yang mengedepankan pelayanan publik, struktur organisasi yang terbentuk
berkarakter desentralistik. Organisasi desentralistik ini ditandai dengan
cirinya yang mendasar, yakni streamlining agency processes,
disaggregation of large bureucratic structures into quasi-autonomous agencies,
dan reduce
size of goovernment. Hal ini berarti bahwa struktur organisasi
pemerintahan memiliki karakteristik sebagai organisasi pemerintahan dengan
instansi-instansi yang dibuat seramping mungkin, sebagai orgnaisasi
pemerintahan dengan instansi-instansi yang dibuat semi otonom, dan sebagai
organisasi pemerintahan dengan ukuran organisasinya dikurangi atau dipangkas.
Dalam struktur ini ditengarai bahwa dasar
pembentukan fungsi-fungsi organisasi mendasarkan atas konsekuensi adaptasi
organisasi pemerintahan dengan perubahan lingkungan sosial untuk merespon
kebutuhan-kebutuhan pelayanan publik bagi masyarakat. Oleh karena itu
pembentukan unit-unit organisasinya berupa fungsi-fungsi yang ada bersumber
pada hasil dialog antar stakeholder pembangunan. Dimana dalam dialog tersebut
terdapat keselarasan dan kesetaraan antara pemerintah dan stakeholder
pembangunan yang terdiri dari pemerintah itu sendiri, swasta, masyarakat yang
didalamnya terkait adanya tokoh masyarakat dan tokoh agama. Fenomena tersebut
mendorong kepemimpinan cenderung mengedepankan sebuah proses pelibatan bawahan dan stakeholder pembangunan
yang selanjutnya disebut dengan kemitraan.
Studi kasus dalam penelitian ini adalah efektifitas suatu
gaya“kepemimpinan”
di kabupaten Purbalingga. Kabupaten Purbalingga adalah salah satu kabupaten
yang sering menjadi rujukan atas ide-ide inovative program-program pembangunannya.
Disamping itu juga secara umum di akui oleh berbagai kalangan mampu menunjukkan
keberhasilannya dalam pembangunan. Hal ini dapat di buktikan dengan banyaknya
penghargaan, baik dari pemerintah pusat maupun dari lembaga-lembaga tertentu yang
berkompeten untuk memberikan penghargaan atas berbagai prestasi yang dicapai
oleh pemerintah kabupaten Purbalingga.
Perumusan Masalah
Pada awal
diberlakukannya UU tentang Otonomi Daerah, banyak pihak yang ragu terhadap
kemampuan daerah untuk mengoptimalkan
pembangunan di daerahnya. Keraguan tersebut bermula didasarkan atas
argumentasi bahwa pemerintah daerah tidak memiliki cukup pengalaman dan sumber
daya yang mumpuni untuk melakukan pengelolaan terhadap potensi yang dimiliki daerah itu sendiri.
Keraguan itu tentu bukannya tanpa alasan. Salah satu diantaranya dikarenakan
bahwa sebelum UU no. 22 tahun 1999 diberlakukan, pemerintah pusat terlalu mendominasi
dan mengarahkan kegiatan serta program-program yang harus dilakukan oleh
pemerintahan di daerah, termasuk didalamnya untuk menentukan figure kepala
daerah yang dikehendakinya. Dengan demikian pantaslah bila tidak terlihat
potensi SDM yang berkualitas, yang diharapkan mampu membangun daerahnya.
Setelah diberlakukannya UU. No 22. tahun 1999 yang kemudian
diperbaharui dengan UU no. 32 tahun 2004, kabupaten Purbalingga ternyata mampu
menunjukkan keberhasilan pembangunan. Keberhasilan yang diraih oleh Purbalingga
sekaligus menunjukkan bahwa sebenarnya daerah pun mampu mengelola potensi yang
dimiliki.
Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini sangat penting
untuk mengetahui:
1.Bagaimana gaya kepemimpinan yang dilakukan di Kabupaten Purbalingga?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis
gaya kepemimpinan di Kabupaten Purbalingga.
2. Mengungkap
keberhasilan yang di dicapai oleh kabupaten Purbalingga
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritisnya adalah bahwa penelitian
ini dapat memberi sumbangan kritis terhadap asumsi-asumsi yang selama ini
dikembangkan oleh penelitian dan kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya
sehingga penelitian ini dapat melengkapi literature tentang kepemimpinan yang
efektif di era otonomi daerah yang telah ada.
2.Manfaat Praktisnya adalah bahwa penelitian
ini dapat memahami secara lebih tepat tentang fenomena kepemimpinan yang
efektif di era otonomi daerah sehingga
dapat di jadikan sebagai referensi bagi semua pihak yang ingin menjadi pemimpin
disuatu daerah pada era otonomi daerah.
Penelitian ini mengkaji gaya “kepemimpinan” sebagai factor keberhasilan pembangunan
Purbalingga 2000-2009. Penelitian ini meminjam kerangka berfikir yang dikemukakan oleh Peter P. Dawson (1985) yang disebut dengan The Multivariable Perception Model of Leadership (MPML). Model ini menjelaskan
langkah demi langkah usaha seorang pemimpin untuk mempengaruhi orang lain
(pengikutnya).